Macet yang telah menjadi penyakit menahun di Ibukota nampaknya belum seberapa dibandingkan dengan negara-negara lain. Parahnya lagi, angka kepemilikian kendaraan di Indonesia belum terlalu besar dan diprediksi akan terus tumbuh.
Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi beberapa waktu lalu menuturkan, angka kepemilikian mobil di Indonesia masih terbilang rendah. Dari 1.000 penduduk, 40 di antaranya sudah memiliki mobil.
Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Thailand. Di mana 128 dari 1.000 orang penduduknya sudah memiliki kendaraan pribadi. Sementara di Jepang, pemilik kendaraan mencapai 580 dari 1.000 orang penduduk.[/vc_column_text][vcex_spacing][vcex_image_grid columns=”1″ img_size=”full” title=”yes” title_type=”title” image_ids=”5132″ lightbox_skin=”minimal”][vc_column_text]
SEJARAH PENGELOLAAN PERPARKIRAN DI DKI JAKARTA
Pengelolaan perparkiran dari masa ke masa terus menjadi persoalan tersendiri bagi Ibu Kota Jakarta. Persoalan tersebut muncul karena adanya kesalahan tata kelola parkir di DKI Jakarta (Nainggolan dkk, 2008 : 13).
Berikut dijelaskan mengenai sejarah pengelolaan parkir di DKI Jakarta :
Sebelum Tahun 1955
Perparkiran di DKI Jakarta telah muncul sejak masa-masa awal kemerdekaan. Setidaknya sejak tahun 1950-an, di jakarta telah ada pihak-pihak yang mengelola parkir dijalan-jalan. Kegiatan parkir tumbuh secara alamiah pada masa itu dari penduduk setempat dan belum ada ketentuan perundangan yang mengatur pengelolaan perparkiran.
Kegiatan parkir pada masa itu dikenal sebagai pekerjaan “Jaga Otto”. Pengelolaan parkir pada masa itu masih sebatas dibeberapa pusat kegiatan kota. Berdekatan dengan wilayah-wilayah tempat tinggal orang-orang Belanda dan Cina.
Individu yang memiliki kendaraan bermotor dan non motor di Jakarta masih sedikit dan terbatas hanya dari kalangan kedua suku bangsa tersebut. Tempat-tempat parkirnya pun terbatas sekitar daerah yang dikenal dengan Pasar Baru, Jakarta Kota, Harmoni, Glodok, Thamrin dan Sudirman (Nainggolan dkk, 2008 : 13).
Daerah-daerah tersebut kala itu memang menjadi kawasan tempat tinggal, gedung-gedung perkantoran mauoun kawasan bisnis yang merupakan masa penjajahan Belanda. Gedung-gedung disana beralih kepemilikan dan fungsinya menjadi ruang bisnis atau perkantoran yang meramaikan kota Jakarta dimasa awal setelah kemerdekaan Indonesia.
Sesuai dengan kondisinya, pada waktu itu jenis kendaraan yang diparkir adalah sepeda dan sedikit mobil. Pengelolaannya lebih banyak dilakukan secara bebas oleh individu maupun berbagai kelompok masyarakat. Pihak yang menguasai parkir adalah orang-orang yang disegani atau ditakuti diwilayah dimana lokasi parkir berada. Sebagai penguasa, semua penghasilan menjadi pendapatan milik pribadi karena memang belum ada badan hukum atau institusi Pemerintah DKI Jakarta yang bertanggung jawab.
Tahun 1955
Pada 1955, pengelolaan perparkiran dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Dinas Pekerjaan Umum mengambil alih parkir dengan alasan besarnya pendapatan disektor ini. Dalam perkembangannya, perparkiran di Jakarta bertambah ramai apalagi ketika Jakarta pertama kali ditunjuk sebagai tuan rumah pelaksanaan Asien Games pada tahun 1962. Kota Jakarta pada saat itu banyak melakukan pembangunan fisik untuk menyediakan sarana bagi para tamu yang akan mengikuti perhelatan olah raga tersebut.
Proyek persiapan Asian Games di Jakarta ini rupanya membuat banyak lokasi baru seperti munculnya wilayah bisnis dan pemukiman baruyang terus menerus berkembang dan semakin ramai. Kondisi itu juga berpengaruh terhadap arus lalu lintas kota yang akhirnya berdampak pada pertambahan lokasi-lokasi parkir.
Pembangunan wilayah pemukiman baru juga dilakukan didaerah kebayoran Baru dan sekitar Blok M, Jakarta Selatan. Lokasi parkir disana dikuasi oleh kelompok masyarakat Surabaya dibawah pimpinan Sugiman.
Begitu pula dengan daerah Pasar Baru, lokasi parkir disana dikuasi oleh kelompok masyarakat Betawi dibawah koordinasi Samid Kicau yang dijuluki “Raja Parkir”.
Sementara itu, Glodok yang merupakan wilayah perdagangan dikuasai oleh kelompok Banten yang diketuai oleh seorang tokoh yang bernama Animuar.
Selain Glodok, wilayah lainnya seperti Jakarta Kota juga dikelola oleh seorang jawara bernama Nurmansyah yang memiliki banyak anak buah sebagai pelaksana di lapangan.
Penguasaan parkir secara swadaya oleh individu atau kelompok masyarakat Jakarta pada waktu itu dilatar belakangi oleh kenyataan penghasilan yang lumayan besar dari usaha perparkiran (Nainggolan dkk, 2008 : 15)
Tahun 1968
Pengelolaan parkir dilakukan oleh Walikota masing-masing.hal ini berdasarkan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta no. Db/5/6/68. Pada saat itu masih banyak oknum / pribadi yang menguasai perparkiran (UP. Perparkiran 2001).
Pengelolaan secara individu tanpa harus menyetor harus berakhir pada tahun 1970. Para pejabat dan pegawai pemerintah Daerah DKI Jakarta (terutama pegaia Pemda dari Dinas PU serta Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya) ketika itu mulai mengorganisir untuk kepentingan pribadi dengan meminta setoran dari pengelolaan parkir kepada pengelola swasta di jalanan.
Walaupun sudah ada penyetoran ke Pemda namun pengelolaannya belumlah terorganisir secara jelas dalam satu atap pelayanan daerah. Pada saat itu ternyata merupakan masa-masa peralihan dimana pengelolaan parkir baru mulai akan diambl alih oleh Pemda dibawah Komando Gubernur Ali Sadikin. Masa peralihan tersebut berakhir pada tahun 1072 dengan pembentukan PT. Parkir Jaya oleh Pemda sebagai satu-satunya badan pengelola perparkiran Kota Jakarta (Nainggolan dkk, 2008 : 15).
Tahun 1972
Pengelolaan perparkiran dilakukan PT Parkir Jaya berdasarkan Keputusan Gubernur KHKI Jakarta No. Db/5/1/1972, pendirian PT. Parkir Jaya bertujuan menghimpun uang melalui pengelolaan parkir bagi pembangunan Jakarta.
Untuk mengimplementasikannnya dimulailah pengelolaan awal disemua pelataran jalan (on street). Sebagai Direktur PT. Parkir Jaya yang pertama diangkatlah mantan ajudan Presiden Soekarno yaitu Kolonel Bambang Wijanarko.
Dalam pengelolaan parkir pada masa itu lebih kepada penekanan Pendapatan Asli daerah (PAD), namun target tidak pernah tercapai dan pelayanan terbaikan. Pada perjalanannya tidak mampu memenuhi target yang telah ditentukan, PT. Parkir Jaya dibubarkan.
Tahun 1977
Sebagai pengganti PT. Parkir Jaya kemudian pada tanggal 5 Juni 1977 Pemerintah Daerah membentuk Badan Pengelola Otorita Pengelolaan parkir Angkutan Jalan Raya (Dinas LLAJR), P. Harahap melalui keputusan Gubernur No. 256 Tahun 1977 tertanggal 6 Mei 1977 dan Keputusan Gubernur No. 529 Tahun 1977 tanggal 5 Juni 1977.
Badan Pengelola Otorita Pengelolaan Parkir berakhir masa kerjanya dengan dikeluarkannya Surat keputusan Gubernur DKI Jakarta serta Susunan dan Tatakerjanya. Badan tersebut dibubarkan dan digantikan dengan Badan pengelola Perparkiran Provinsi DKI Jakarta (BP Perparkiran). Pembubaran dan penggantian badan tersebut terjadi karena belum tercapainya pendapatan Rp. 20 juta tiap tahun seperti yang ditargetkan oleh Gubernur (Nainggolan dkk, 2008 : 15-16).
Tahun 1979
Berdasarkan Surat keputusan (SK) Gubernur DKI No. 531 tahun 1979 tentang Penetapan Badan Pengelola perparkiran pemerintah DKI Jakarta serta susunan dan tata kerjanya maka dibentuklah BP Perparkiran sebagai pelaksana teknis Pemerintah Daerah (Pemda) yang memiliki tugas mengelola tempat parkir Pemda serta membina dan mengawasi perparkiran lainnya di wilayah DKI Jakarta.
Dalam SK Gubernur tersebut secara khusus juga disebutkan bahwa dibentuknya BP Perparkiran ini bertujuan untuk menanggulangi kemacetan lalu lintas serta secara tidak langsung mengurangi parkir tepi jalan. Dalam pengelolaannya sebagai Badan Pengelola BP Perparkiran pun dijadikan intansi setingkat Dinas ditubuh Pemda Jakarta dan berada dibawah koordinasi Sekertariat Daerah.
Melalui SK Gubernur No. 938 Tahun 1986 terbentuklah penyepurnaan organisasi dan tata kerja BP Perpakiran. Berdasarkan SK Gubernur No. 938 Tahun 1986 terbentuklah penyempurnaan organisasi dan tata kerja BP Perparkiran berdasarkan SK Gubernur No. 938 Tahun 1986 BP Perparkiran ditetapkan sebagai operator dan regulator sektor perparkiran. Perubahan mendasar lainnya yang diatur oleh SK Gubernur No. 938 Tahun 1986 adalah didesentralisasi tugas penyelenggaraan kegiatan pengelolaan perparkiran dengan pembentukan satuan tugas perparkiran wilayah disetiap wilayah kota.
Perparkiran wilayah ini bertugas menyelenggarakan serta mengendalikan pelayanan parkir kendaraan tepi jalan. Lingkungan / pelataran parkir dan gedung parkir. Penyempurnaan berikutnya terhadap organisasi dan tata kerja BP Perparkiran diperbaiki kembali melalui SK Gubernur No. 523 Tahun 1987.
Tahun 2007 – 2012
Pada tahun 2007, BP Perparkiran diganti lagi menjadi Unit pengelola Perparkiran sesuai Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 14 tahun 2007 yang disempurnakan dengan Peraturan Gubernur provinsi DKI Jakarta No. 128 Tahun 2007.
Perpindahan UP Perparkiran menjadi bagian dari Dinas Perhubungan ini sebenarnya menandakan Pemprov Jakarta ingin pengelolaan parkir tidak hanya melihat potensi pendapatan tetapi semata juga sebagai bagian dari sistem transportasi.
Penyempurnaan terakhir ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 110 Tahun 2010. Unit Pengelola Perparkiran menetapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum daerah (PPK-BLUD) sesuai perraturan Gubernur provisnsi DKI Jakarta No. 180 Tahun 2008 (UP. Perparkiran DKI Jakarta, 2012).[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]